Fajar
yang hening untuk jiwa yang lusuh..
Tepat pukul 05.00 WIB, kau menggugahku
untuk segera beranjak dari tempat tidur untuk menemuimu. Mengikuti rencanamu
untuk berjalan-jalan dipagi hari. Ralat, bersepeda motoran dipagi hari untuk
sekedar keliling kota pisang (Lumajang). Hah ? Yang benar saja. Batinku
mengeluh saat kau lontarkan ajakan itu. Jam segitu aku masih menikmati empuknya
kasur dan menggeliat seksi, masih meresapi mimpi yang tak sempat kujamah karena
kau buru buru membangunkanku. Belum ada rencana untuk pergi dengan siapapun
termasuk denganmu. Otak dan perasaanku masih belum bisa berkoordinasi maksimal.
Belum mencapai titik puncak keharmonisan organ. Kakiku juga belum siap melangkah
lebih pagi dari biasanya. Dan mataku belum siap melihat dunia lebih gelap dari semestinya.
‘Ya sudah jam 6,’ aku mengambil
keputusan. Dengan sedikit terpaksa karena takut menyinggung perasaanmu jika
kutolak mentah-mentah.
‘Oke,’ balas smsmu hambar.
‘Tapi pulang jam 8.’
‘oke Deal !’ jawabmu hambar lagi. Ah
sial. Kau selalu seperti pataya yang lupa digarami.
Dan pagi itu seperti yang sudah
direncanakan aku mandi lebih pagi, mengenakan jeans hitam dengan jaket ijo. Itu
baju yang selalu kugunakan ketika aku sedang malas menyetrika. Penampilanku
biasa saja dengan rambut yang tergerai awut-awutan. Lagi malas berdandan. Dengan
mata agak menyipit ku keluarkan motorku. Sesekali kesandung dan salah memakai
sendal. Kejedot pintu juga tak dapat kuhindari. Brengsek.
Aku
berangkat
sent to ‘something’. Message sent !
1 menit kemudian.
1 new message – open -
from something :
‘oke. Entar kalau sampai gerbang sms ya.’
Fiuh. Aku mulai melajukan motorku
dengan malas. ‘seharusnya jam segini aku masih tidur.’
10 menit kemudian..
‘aku digerbang. Cepat keluar !!’
Sent to something. Message sent !
‘iya ini aku keluar,’ balasnya cepat.
1 menit, 2 menit, 3, 4, 5, 6, 7, 8,,,,
‘lama sekali,’ batinku kesal.
Aku mulai melihat sekeliling, jalanan
ramai. Semua orang memulai aktivitasnya dipagi hari. Tak ada yang tau kemana mereka akan pergi, ke
pasar, ke alun-alun kota, ke rumah teman, saudara, ke toilet, rumah sakit,
perpustakaan, warnet, atau sebatas jalan-jalan pagi, entahlah, siapa juga yang
peduli.
Saat itu aku sedang berada digerbang
perumahan baru. Bagai remaja labil yang sedang nongkrong dipinggir jalan cuci
mata. Memakai tanktop dan celana sejengkal. Memamerkan senyum ke pemuda
jalanan. Tapi bedanya aku tak memakai kaos kurang bahan atau celana yang
memamerkan paha itu. Dan aku juga tidak sedang cuci mata atau menunggu pemuda
jalanan. Aku hanya duduk diatas motor
sambil sesekali melihat kosong kedepan. Pikiranku mengawang tapi tak terlalu
tinggi. Mungkin orang yang sedang berlalu disitu menganggapku ABG labil yang
baru putus cinta, melamun ditengah jalan, dan sedang memikirkan rencana bunuh
diri. Entahlah. Siapa juga yang peduli. Hingga akhirnya beberapa pemuda ababil
membuyarkan lamunanku.
‘cewek.’
‘hai mbak.’
‘sendirian aja nih.’
‘nunggu siapa?’
Mereka bersautan. Lebih ricuh dari kicauan
burung kelaparan. Aku diam. Memasang wajah innocent.
‘Banyak cowok. Cepetan.’ Aku mengirim
pesan padanya.
Tidak dibalas. Pikiranku mulai kacau.
Pemuda-pemuda itu semakin dekat. Salah satu dari mereka memegangi motorku.
Geblek !! yang ditunggu tak muncul juga. aku menatap mereka galak. Mereka
tersenyum dan berlalu begitu saja. syukurlah. Dasar pemuda-pemuda belum sarapan
! nggak nyambung.
Tak lama kemudian sosok aneh muncul
dengan motor kebanggaannya. ‘Itu dia orangnya,’ ujarku lirih.
Dia mengenakan sweter abu-abu dengan
jeans hitam, dengan potongan rambut ala Jepang yang baru dipangkas oleh
temannya. Buatku yang sama sekali tidak mengerti style Jepang, Itu adalah model
rambut yang lumayan freak. Eh maaf :p
‘Ayo masuk.’ Ucapnya sambil tersenyum.
‘Kemana?’ jawabku sedikit berteriak.
Lalu lalang kendaraan membuat telingaku seketika buntu.
‘Kerumah temanku,’ jelasnya sambil
menunjuk kearah dalam Perumahan. Kebetulan saat itu dia sedang ada acara
menginap bersama dengan teman-teman SMAnya.
‘hah?’
‘masuk,’ dia ikutan teriak.
‘kemana?’ aku masih tidak paham.
Fiuh. Ekspresinya berubah. Dia terlihat
sedikit kesal dengan ketulianku yang mendadak. Hingga akhirnya dia menggerakkan
tangannya dengan maksud, ‘mendekatlah dulu. Setelah itu aku jelaskan.’
Oke aku paham ! aku menyeberang,
berusaha menghampirinya. Saat itu kita memang sedang dibatasi oleh jalan raya
yang lumayan sibuk. Jadi nggak heran kalau telinga agak sibuk juga.
‘sepedamu taro mana?’ tanyaku setelah
berhasil menghampirinya.
‘Dirumah teman.’
‘Loh, jadi kita kerumah temanmu?’
‘Ya iya. Ayo,’ dia berputar dan mulai
melajukan motornya.
‘loh loh loh?’ aku berusaha mengejar.
Sampai didepan rumah temannya, dia membuka
pintu pagar seolah rumahnya sendiri. Aku menatapnya bingung dan mulai melihat
kedalam rumah. Kebetulan pintunya sedikit terbuka dan bisa terlihat siapa saja
yang ada didalam rumah itu. Dan ketika pandanganku tepat pada ruang tamu, aku
melihat seorang pria dengan boxer dan kaos hitam melintas.
‘Jangan-jangan
mereka homo.’ Pikiran nakalku mulai meracuni.
1 menit, 2 menit, 3, 4, 5. dia keluar.
‘Ayo,’ katanya semangat. Aku diam,
hanya tersenyum tipis kemudian pindah ke posisi belakang. Yup ! sebagai orang
yang dibonceng.
‘Loh, kau yang nyetir,’ ucapnya
tiba-tiba.
Aku menatapnya galak. ‘Enggak!!’
jawabku tegas.
Kemudian dia mengambil posisi, and then
gooooooo.
Di perjalanan, aku masih dalam
heningku. Tak ingin berbicara apa-apa dan hanya ingin menikmati udara segar
pagi hari. Semilir angin membuatku ingin terpejam dan menikmati kesejukannya.
‘kenapa diam?’ tanyanya seketika.
Aku tak menjawab. Masih ingin tetap
diam dan menikmati semua yang ada.
‘heh. Kenapa diam?’ tanyanya lagi.
Aku tetap tak menjawab. Masih hanyut
dalam keindahan alam pagi hari.
‘kenapa sih?’ kali ini dia bertanya
sambil memukul lututku.
Aku tersenyum, tapi enggan menjawab. Aku
selalu suka ketika dia memukulku karena aku tak mempedulikannya.
‘Aku salah apa?’ katanya dengan nada
berubah. Ah, selalu saja ditanya begini ketika aku diam.
Aku tersenyum lagi. ‘Nggak papa kok.’
Terangku.
Dia tersenyum. Aku bisa melihat
ekspresinya dari spion yang sudah dia atur sedemikian rupa biar kita bisa
saling memandang.
‘Mau kemana?’ tanyaku memecah
keheningan.
‘Entahlah.’
‘Jadi kau belum punya rencana?’
‘Belum.’ Jawabnya santai.
‘ayo pulang saja,’ ucapku datar.
‘ah. Apa-apaan kau ini?
‘ya sudah sekarang tentukan mau
kemana?’
‘kita ikuti saja jalan ini,’ jawabnya
singkat.
‘huff. Selalu saja tidak jelas. Aku nggak
mau kencan denganmu lagi,’ kataku kemudian.
Dia memukul kakiku dan tersenyum, tapi aku
tak menjawab. Pura puranya aku merajuk. J
‘bawa jas hujan?’
‘enggak,’ jawabku cuek.
‘wah. Gawat.’
‘hah? Gawat? Emang mau kemana?’ aku mulai
melebay.
Dia tak menjawab dan mulai mengecek
bensin. ‘Kita ke *sensor* ya me. Kalau hujan ya sudah, hujan-hujanan.’
‘hah? Pulangnya jam berapa?’
‘Sore.’
‘apaaa? Enggak.’ Jawabku sedikit berteriak.
Suara kendaraan yang berlalu lalang memakasaku bersuara keras biar dia dengar.
‘Jam 8.59 deh.’
‘Jam 8 tepat.’
‘enggak. Jam 8.59.’
Aku melototinya, tapi dia tak melihat.
Jelas saja, orang aku dibelakangnya.
‘mau ya?’ tanyanya lagi.
Aku melihat jam dan memperkirakan apa
yang akan terjadi ketika aku izin pulang jam 8 tapi sampai rumah jam 8.59. ‘oke
deh,’ akhirnya aku memutuskan.
Motor melaju cepat, semilir angin
membuatku kedinginan. Ku tatap jam, masih pukul 06.20. ‘masih lama
perjalanannya?’ tanyaku kemudian.
‘masih separuh perjalanan,’jawabnya
sambil menambah kecepatan.
Aku tetap dalam posisiku. Aku tersenyum
dan mulai terpejam, merentangkan tanganku menikmati kesejukan. Aku melepas helm
dan membiarkan rambutku tergerai berantakan. Dia melihatku dari spion dan
tersenyum. Mungkin dipikirnya aku remaja labil yang jarang menikmati keindahan
seperti ini. Entahlah. Apapun yang dipikirkannya, aku tak peduli. Memang
jarang. Senin sampai sabtu aku harus lalu lalang disekolah dengan tugas-tugas
yang lumayan freak, dan ketika minggu tiba aku lebih suka menghabiskannya untuk
tidur karena kelelahan.
‘indah ya,’ kataku sambil tetap
terpejam.
‘masak begini indah?’ jawabnya cuek.
Aku membuka mata dan melihat
ekspresinya dari spion. ‘Dasar, sok !! huh.’ Batinku.
Udara semakin dingin, dan jalanan
semakin sepi. Kita melewati beberapa hutan pinus. Indah tapi lumayan
menyeramkan. Imaginasiku berkeliaran sampai menemui beberapa komplotan pejahat
yang menghadang. Mereka memakai jaket kulit hitam dengan membiarkan resleting
jaketnya terbuka, hingga terlihat kaos pendek hitam didalamnya. Persis seperti
boyband yang berjajar ditengah jalan seolah mau shooting video klip. Ditangan
kirinya membawa rantai besi yang bisa membuat siapapun yang dipukulnya
terkapar. Ah tidak. Aku membuyarkan lamunanku sendiri.
‘Ada karet nggak?’ aku menggerasak
tasku. ‘aku lupa bawa. Sisirku juga ketinggalan,’ ujarku memelas. Dia
memberikan tangan kirinya. ‘apa?’ tanyaku tak mengerti.
‘Ambil ini ada kucir ditanganku.’
‘Oh.’ Aku baru mengerti dan mulai
membuka lengan sweternya. Tampak gelang warna hitam khas lelaki dan kucir
coklat yang biasa dipakai perempuan. ‘Buat apa kau pakai gelang kucir ditanganmu?’
tanyaku penasaran.
‘Rambutku juga bisa berantakan.’
Jawabnya cuek (lagi).
Aku tak terlalu menggubris jawabannya,
kupakai kucir itu untuk sedikit merapikan rambutku.
‘Nggak usah dikucir kenapa sih?’ dia
protes.
‘Emang kenapa? Awut-awutan ini loh.’
‘Kamu cantik kalau rambutmu tergerai.’
Jawabnya sambil tersenyum. Swiiiiiinggggg, aku dibuatnya melayang menembus
batas nyata. Imaginasiku berkeliaran lagi. Kulihat hamparan sawah berubah
menjadi padang ilalang yang indah. Langit semakin cerah, dan udara semakin
sejuk..
‘Heh. Diajak ngomong malah diem.’ Dia memukul
lututku.
Lamunanku buyar. Seketika padang ilalang
berubah jadi hamparan ladang yang tandus, matahari semakin terik, dan udara
mulai panas. ‘ah kau ini,’ aku sedikit kesal.
‘lihat itu.’ Ucapnya mengagetkanku.
Ku ikuti jari telunjuknya. Dan
pandanganku terpaku pada sebuah gunung. ‘nanti kita naik kesana,’ucapnya lagi.
‘Serius?’ tanyaku tak yakin.
‘dua rius.’
‘Maksudku serius motorku bisa naik
kesana?’ aku berusaha menjelaskan.
‘Kalau nggak bisa naik kan ada kamu,’
dia tersenyum.
‘maksudnya?’ aku melotot.
‘Kau yang dorong. Haha.’
‘Sial,’ aku memukul kepalanya yang
terlindung helm. Tanganku sakit sendiri. Fiuh —“
Beberapa tanjakan kita lalui dan
akhirnya sampai juga pada puncak. Layaknya orang yang sudah biasa kesana, dia
memarkir motorku dengan santai dan sudah tau tempat parkirnya dimana. Aku yakin
dia pasti sudah berulang kali ketempat itu dengan wanita yang jelas bukan aku.
Itu pertama kalinya dia mengajakku kesana, dan mungkin terakhir juga.
Aku turun dan duduk disebuah warung
kecil yang hanya berjualan aneka minuman, gorengan dan cilot. Makanan ringan
juga terlihat menggantung diwarung itu. ‘Lapar?’ tanyanya padaku.
‘Enggak,’ ucapku sambil melihat ke hamparan
luas yang menghijau dibawah sana. Tampak pondok mungil diantara sekat-sekat
sawah, pepohonan, rumah-rumah, hutan, jalanan, dan sebagainya. indah !!
‘Mbak cilot satu ya.’ Dia memesan.
‘Aku Jahe torabika satu ya mbak.’ Aku
ikutan memesan.
“aku energen juga deh.’ Katanya sambil tersenyum.
Ikut ikutan memesan minuman.
Aku berjalan ketepi. Melihat keindahan
dibawah sana dengan lebih dekat. Aku jongkok bak bocah yang hendak pipis, dan
mulai menatap hamparan luas yang menghijau dibawah sana. Semilir angin
memaksaku terpejam. Aku menikmati setiap sentuhan angin yang mengusir rumus
rumus eksak di otakku.
Kemudian aku kembali ketempat dudukku,
duduk disampingnya dan menatapnya makan dengan lahap. Sesekali aku merebut
garpunya dan ikut makan. Dia menatapku. Pandangan kami bertemu, aku tersenyum,
dia juga tersenyum.
‘katanya mau belajar Matematika?’ dia
membelai rambutku.
‘oh iya.’ Aku mengeluarkan binder yang
sengaja kubawa. ‘Ini.. ini.. dan ini nggak bisa.’ Aku menunjuk beberapa soal
yang tak bisa kukerjakan.
Dia mengambil bukuku dan memperhatikan
soal-soal itu. ‘Sepertinya aku juga sudah lupa.’ Dia tersenyum dengan wajah
innocent. ‘Yaaaahhh,’ ujarku kecewa. Tapi tetap dalam bingkai senyum tipis.
Padahal alasanku mau diajak pergi ya karena ingin belajar matematika. Tapi
sudahlah..
Lalu aku pindah kekursi lain, tepat
berhadapan dengannya. Aku menaikkan kakiku dan mulai menghadap kehamparan hijau
yang luas dibawah sana, sambil sesekali meminum jahe torabika yang sudah agak
hangat. Dia juga terlihat menikmati energennya.
Dia menatapku lagi dan tersenyum. Aku
balas tersenyum,’ apa lihat-lihat?’ ujarku sok galak.
Dia tak menjawab dan tersenyum lagi. Aku
juga ikutan tersenyum. J
‘Kapan terakhir kau kesini?’ tanyaku
memulai pembicaraan.
‘Entahlah, mungkin 1 tahun yang lalu.’
‘Dengan siapa?’
‘Sesuatu,’ jawabnya singkat.
Aku kembali menatap hamparan indah dibawah
sana tanpa peduli siapa yang pernah dia ajak kesini. Tanpa peduli aku orang
keberapa yang dia ajak kesini. Aku menepis pikiran-pikiran yang bisa merubah
moodku dihari itu. Sesekali kubiarkan jahe torabika membasahi tenggorokanku sambil
menatap kosong kedepan. Pikiranku melayang kemana-mana. Mencoba mengais
keindahan-keindahan yang mungkin luput dari pandangan dan sulit terjamah.
‘Kenapa?’ tanyanya tiba-tiba ketika
sadar aku sedang melamun.
Aku melihatnya datar, tersenyum tipis
dan kembali menatap kehamparan dibawah sana. ‘Nggak papa,’ jawabku dalam hati.
Entah kenapa rasanya enggan menjawab pertanyaan yang terlanjur terlontar itu.
Aku menatap jam, jarumnya menujukkan
bahwa saat itu pukul 07.46. Moodku sedikit berubah, dan aku ingin pulang.
‘sudah pukul 07.46,’ ujarku pelan.
‘memang kenapa?’
‘Pulang,’ jawabku santai tanpa menatap
matanya.
‘Kita pulang jam 8.59.’ sahutnya
sedikit kesal.
‘Ya sudah,’ aku tak bersemangat.
Aku menatap matanya. Berusaha mengurai
makna yang ada disana, tapi tak mampu. Aku tak mampu menterjemahkan tatapan
tajam itu. Aku tak mampu membaca pikiran sosok didepanku itu. Aku menunduk, Entahlah. Aku tidak peduli.
Waktu berjalan begitu cepat. Tak terasa
sudah pukul 9.00 dan akhirnya kami pulang.
Ditengah perjalanan, aku merasakan
perutku kosong, pandanganku buram dan kepalaku lumayan pusing. Aku terpejam,
menahan sakit. ‘kenapa?’ tanyanya khawatir.
‘Nggak papa,’ aku tersenyum, berusaha
meyakinkan dia bahwa aku tidak papa.
‘Lapar ya?’ ujarnya mengetahui apa yang
kurasakan.
‘hehe,’ aku malu. Tapi lagi lagi
berusaha untuk tidak peduli.
‘Kita cari makan dulu deh.’ Dia menambah
kecepatan.
Kita berhenti pada sebuah warung mie
ayam. ‘kita makan disini ya,’ dia menawarkan. Aku mengangguk lemas. Rasanya
badanku sudah tak kuat lagi. Ingin pulang dan berbaring. Perutku mual, dan
kepalaku semakin pusing, ‘hatiku juga sedang tak baik’, batinku.
Pukul 09.30, kita selesai makan dan
melanjutkan perjalanan pulang.